Dari Ummu Al-Ala’, dia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku tatkala aku sedang sakit, lalu beliau berkata. ‘Gembirakanlah wahai Ummu Al-Ala’. Sesungguhnya sakitnya orang Muslim itu membuat Allah menghilangkan kesalahan-kesalahan, sebagaimana api yang menghilangkan kotoran emas dan perak“. (Isnadnya Shahih, ditakhrij Abu Daud, hadits nomor 3092)Wahai Ukhti Mukminah .!
Sudah barang tentu engkau akan menghadapi cobaan di dalam kehidupan dunia ini. Boleh jadi cobaan itu menimpa langsung pada dirimu atau suamimu atau anakmu ataupun anggota keluarga yang lain. Tetapi justru disitulah akan tampak kadar imanmu. Allah menurunkan cobaan kepadamu, agar Dia bisa menguji imanmu, apakah engkau akan sabar ataukah engkau akan marah-marah, dan adakah engkau ridha terhadap takdir Allah ?
Wasiat yang ada dihadapanmu ini disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala menasihati Ummu Al-Ala’ Radhiyallahu anha, seraya menjelaskan kepadanya bahwa orang mukmin itu diuji Rabb-nya agar Dia bisa menghapus kesalahan dan dosa-dosanya.
Selagi engkau memperhatikan kandungan Kitab Allah, tentu engkau akan mendapatkan bahwa yang bisa mengambil manfaat dari ayat-ayat dan mengambil nasihat darinya adalah orang-orang yang sabar, sebagaimana firman Allah.
“Artinya : Dan, di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah kapal-kapal (yang berlayar) di laut seperti gunung-gunung. Jikalau Dia menghendaki, Dia akan menenangkan angin, maka jadilah kapal-kapal itu terhenti di permukaan laut. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bagi setiap orang yang bersabar dan banyak bersyukur“. (Asy-Syura : 32-33)
Engkau juga akan mendapatkan bahwa Allah memuji orang-orang yang sabar dan menyanjung mereka. Firman-Nya.
“Artinya : Dan, orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa“. (Al-Baqarah : 177)
Engkau juga akan tahu bahwa orang yang sabar adalah orang-orang yang dicintai Allah, sebagaimana firman-Nya.
“Artinya : Dan, Allah mencintai orang-orang yang sabar“. (Ali Imran : 146)
Engkau juga akan mendapatkan bahwa Allah memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan balasan yang lebih baik daripada amalnya dan melipatgandakannya tanpa terhitung. Firman-Nya.
“Artinya : Dan, sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan“. (An-Nahl : 96)
“Artinya : Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas“. (Az-Zumar : 10)
Bahkan engkau akan mengetahui bahwa keberuntungan pada hari kiamat dan keselamatan dari neraka akan mejadi milik orang-orang yang sabar. Firman Allah.
“Artinya : Sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, (sambil mengucapkan): ‘Salamun ‘alaikum bima shabartum’. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu“. (Ar-Ra’d : 23-24)
Benar. Semua ini merupakan balasan bagi orang-orang yang sabar dalam menghadapi cobaan. Lalu kenapa tidak? Sedangkan orang mukmin selalu dalam keadaan yang baik ?
Dari Shuhaib radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik. Apabila mendapat kelapangan, maka dia bersyukur dan itu kebaikan baginya. Dan, bila ditimpa kesempitan, maka dia bersabar, dan itu kebaikan baginya“. (Ditakhrij Muslim, 8/125 dalam Az-Zuhud)
Engkau harus tahu bahwa Allah mengujimu menurut bobot iman yang engkau miliki. Apabila bobot imanmu berat, Allah akan memberikan cobaan yang lebih keras. Apabila ada kelemahan dalam agamamu, maka cobaan yang diberikan kepadamu juga lebih ringan. Perhatikanlah riwayat ini.
“Artinya : Dari Sa’id bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu, dia berkata. ‘Aku pernah bertanya : Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling keras cobaannya ? Beliau menjawab: Para nabi, kemudian orang pilihan dan orang pilihan lagi. Maka seseorang akan diuji menurut agamanya. Apabila agamanya merupakan (agama) yang kuat, maka cobaannya juga berat. Dan, apabila di dalam agamanya ada kelemahan, maka dia akan diuji menurut agamanya. Tidaklah cobaan menyusahkan seorang hamba sehingga ia meninggalkannya berjalan di atas bumi dan tidak ada satu kesalahan pun pada dirinya“. (Isnadnya shahih, ditakhrij At-Tirmidzy, hadits nomor 1509, Ibnu Majah, hadits nomor 4023, Ad-Darimy 2/320, Ahmad 1/172)
“Artinya : Dari Abu Sa’id Al-Khudry Radhiyallahu anhu, dia berkata. ‘Aku memasuki tempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau sedang demam. Lalu kuletakkan tanganku di badan beliau. Maka aku merasakan panas ditanganku di atas selimut. Lalu aku berkata. ‘Wahai Rasulullah, alangkah kerasnya sakit ini pada dirimu’. Beliau berkata: ‘Begitulah kami (para nabi). Cobaan dilipatkan kepada kami dan pahala juga ditingkatkan bagi kami’. Aku bertanya. ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat cobaannya ? Beliau menjawab: ‘Para nabi. Aku bertanya. ‘Wahai Rasulullah, kemudian siapa lagi? Beliau menjawab: ‘Kemudian orang-orang shalih. Apabila salah seorang di antara mereka diuji dengan kemiskinan, sampai-sampai salah seorang diantara mereka tidak mendapatkan kecuali (tambalan) mantel yang dia himpun. Dan, apabila salah seorang diantara mereka sungguh merasa senang karena cobaan, sebagaimana salah seorang diantara kamu yang senang karena kemewahan“. (Ditakhrij Ibnu Majah, hadits nomor 4024, Al-Hakim 4/307, di shahihkan Adz-Dzahaby)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata. “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
“Artinya : Cobaan tetap akan menimpa atas diri orang mukmin dan mukminah, anak dan juga hartanya, sehingga dia bersua Allah dan pada dirinya tidak ada lagi satu kesalahanpun“. (Isnadnya Hasan, ditakhrij At-Tirmidzy, hadits nomor 2510. Dia menyatakan, ini hadits hasan shahih, Ahmad 2/287, Al-Hakim 1/346, dishahihkan Adz-Dzahaby)
Selagi engkau bertanya : “Mengapa orang mukmin tidak menjadi terbebas karena keutamaannya di sisi Rabb?”.
Dapat kami jawab : “Sebab Rabb kita hendak membersihkan orang Mukmin dari segala maksiat dan dosa-dosanya. Kebaikan-kebaikannya tidak akan tercipta kecuali dengan cara ini. Maka Dia mengujinya sehingga dapat membersihkannya. Inilah yang diterangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Ummul ‘Ala dan Abdullah bin Mas’ud. Abdullah bin Mas’ud pernah berkata. “Aku memasuki tempat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang demam, lalu aku berkata. ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau sungguh menderita demam yang sangat keras’.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata. “Benar. Sesungguhnya aku demam layaknya dua orang diantara kamu yang sedang demam”.
Abdullah bin Mas’ud berkata. “Dengan begitu berarti ada dua pahala bagi engkau ?”
Beliau menjawab. “Benar”. Kemudian beliau berkata. “Tidaklah seorang muslim menderita sakit karena suatu penyakit dan juga lainnya, melainkan Allah menggugurkan kesalahan-kesalahannya dengan penyakit itu, sebagaimana pohon yang menggugurkan daun-daunnya“. (Ditakhrij Al-Bukhari, 7/149. Muslim 16/127)
Dari Abi Sa’id Al-Khudry dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhuma, keduanya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata.
“Artinya : Tidaklah seorang Mukmin ditimpa sakit, letih, demam, sedih hingga kekhawatiran yang mengusiknya, melainkan Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya“. (Ditakhrij Al-Bukhari 7/148-149, Muslim 16/130)
Sabar menghadapi sakit, menguasai diri karena kekhawatiran dan emosi, menahan lidahnya agar tidak mengeluh, merupakan bekal bagi orang mukmin dalam perjalanan hidupnya di dunia. Maka dari itu sabar termasuk dari sebagian iman, sama seperti kedudukan kepala bagi badan. Tidak ada iman bagi orang yang tidak sabar, sebagaimana badan yang tidak ada artinya tanpa kepala. Maka Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata. “Kehidupan yang paling baik ialah apabila kita mengetahuinya dengan berbekal kesabaran”. Maka andaikata engkau mengetahui tentang pahala dan berbagai cobaan yang telah dijanjikan Allah bagimu, tentu engkau bisa bersabar dalam menghadapi sakit. Perhatikanlah riwayat berikut ini.
“Artinya : Dari Atha’ bin Abu Rabbah, dia berkata. “Ibnu Abbas pernah berkata kepadaku. ‘Maukah kutunjukkan kepadamu seorang wanita penghuni sorga ? Aku menjawab. ‘Ya’. Dia (Ibnu Abbas) berkata. “Wanita berkulit hitam itu pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata. ‘Sesungguhnya aku sakit ayan dan (auratku) terbuka. Maka berdoalah bagi diriku. Beliau berkata. ‘Apabila engkau menghendaki, maka engkau bisa bersabar dan bagimu adalah sorga. Dan, apabila engkau menghendaki bisa berdo’a sendiri kepada Allah hingga Dia memberimu fiat’. Lalu wanita itu berkata. ‘Aku akan bersabar. Wanita itu berkata lagi. ‘Sesungguhnya (auratku) terbuka. Maka berdo’alah kepada Allah bagi diriku agar (auratku) tidak terbuka’. Maka beliau pun berdoa bagi wanita tersebut“. (Ditakhrij Al-Bukhari 7/150. Muslim 16/131)
Perhatikanlah, ternyata wanita itu memilih untuk bersabar menghadapi penyakitnya dan dia pun masuk sorga. Begitulah yang mestinya engkau ketahui, bahwa sabar menghadapi cobaan dunia akan mewariskan sorga. Diantara jenis kesabaran menghadapi cobaan ialah kesabaran wanita muslimah karena diuji kebutaan oleh Rabb-nya. Disini pahalanya jauh lebih besar.
Dari Anas bin Malik, dia berkata. “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata.
“Artinya : Sesungguhnya Allah berfirman. ‘Apabila Aku menguji hamba-Ku (dengan kebutaan) pada kedua matanya lalu dia bersabar, maka Aku akan mengganti kedua matanya itu dengan sorga“. (Ditakhrij Al-Bukhari 7/151 dalam Ath-Thibb).
Menurut Al-Hafidz di dalam Al-Fath, yang dimaksud habibatain adalah dua hal yang dicintai. Sebab itu kedua mata merupakan anggota badan manusia yang paling dicintai. Sebab dengan tidak adanya kedua mata, penglihatannya menjadi hilang, sehingga dia tidak dapat melihat kebaikan sehingga membuatnya senang, dan tidak dapat melihat keburukan sehingga dia bisa menghindarinya.)
Maka engkau harus mampu menahan diri tatkala sakit dan menyembunyikan cobaan yang menimpamu. Al-Fudhail bin Iyadh pernah mendengar seseorang mengadukan cobaan yang menimpanya. Maka dia berkata kepadanya. “Bagaimana mungkin engkau mengadukan yang merahmatimu kepada orang yang tidak memberikan rahmat kepadamu ?”
Sebagian orang Salaf yang shalih berkata : “Barangsiapa yang mengadukan musibah yang menimpanya, seakan-akan dia mengadukan Rabb-nya”.
Yang dimaksud mengadukan di sini bukan membeberkan penyakit kepada dokter yang mengobatinya. Tetapi pengaduan itu merupakan gambaran penyesalan dan penderitaan karena mendapat cobaan dari Allah, yang dilontarkan kepada orang yang tidak mampu mengobati, seperti kepada teman atau tetangga.
Orang-orang Salaf yang shalih dari umat kita pernah berkata. “Empat hal termasuk simpanan sorga, yaitu menyembunyikan musibah, menyembunyikan (merahasiakan) shadaqah, menyembunyikan kelebihan dan menyembunyikan sakit”.
Ukhti Muslimah !
Selanjutnya perhatikan perkataan Ibnu Abdi Rabbah Al-Andalusy : “Asy-Syaibany pernah berkata. ‘Temanku pernah memberitahukan kepadaku seraya berkata. ‘Syuraih mendengar tatkala aku mengeluhkan kesedihanku kepada seorang teman. Maka dia memegang tanganku seraya berkata. ‘Wahai anak saudaraku, janganlah engkau mengeluh kepada selain Allah. Karena orang yang engkau keluhi itu tidak lepas dari kedudukannya sebagai teman atau lawan. Kalau dia seorang teman, berarti dia berduka dan tidak bisa memberimu manfaat. Kalau dia seorang lawan, maka dia akan bergembira karena deritamu. Lihatlah salah satu mataku ini, ‘sambil menunjuk ke arah matanya’, demi Allah, dengan mata ini aku tidak pernah bisa melihat seorangpun, tidak pula teman sejak lima tahun yang lalu. Namun aku tidak pernah memberitahukannya kepada seseorang hingga detik ini. Tidakkah engkau mendengar perkataan seorang hamba yang shalih (Yusuf) : “Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku”. Maka jadikanlah Allah sebagai tempatmu mengadu tatkala ada musibah yang menimpamu. Sesungguhnya Dia adalah penanggung jawab yang paling mulia dan yang paling dekat untuk dimintai do’a“. (Al-Aqdud-Farid, 2/282)
Abud-Darda’ Radhiyallahu anhu berkata. “Apabila Allah telah menetapkan suatu takdir, maka yang paling dicintai-Nya adalah meridhai takdir-Nya“. (Az-Zuhd, Ibnul Mubarak, hal. 125)
Perbaharuilah imanmu dengan lafazh la ilaha illallah dan carilah pahala di sisi Allah karena cobaan yang menimpamu. Janganlah sekali-kali engkau katakan : “Andaikan saja hal ini tidak terjadi”, tatkala menghadapi takdir Allah. Sesungguhnya tidak ada taufik kecuali dari sisi Allah.
Etika Amar Maruf Nahi Mungkar10/05/2004 20:06 posted by Admin, telah dibaca 969 kaliAllah Taala yang Maha Tinggi dan Maha Besar berfirman: Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiada orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk“. ( Q.S: 5;105 ).
Ayat ini tidak bermakna larangan atau perintah untuk meninggalkan amar maruf (kebaikan) dan nahi mungkar (kejelekan), sebagaimana yang terdapat dalam hadits masyhur di Kutubus Sunan, dari Abi Bakr As-Shidiq, (Ia) berkhutbah di atas mimbar Rasulullah saw dan berkata : ” Wahai manusia sesungguhnya kalian membaca ayat ini dan menerapkannya bukan pada tempatnya, sungguh saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda : Artinya : ” Sesungguhnya manusia apabila melihat kemungkaran, kemudian tidak merubahnya, maka hampir-hampir Allah menimpakan azab dari-Nya kepada mereka semua”. (H.R. Ahmad dimusnadnya dari Abi Bakr, dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani di kitab Shohih Al Jami , no: 1974, juz; 1/ 398.)
Dan demikian juga dalam hadits Abi Tsalabah Al-Khusyani yang marfu ( yang sampai ke Rasulullah ) dalam menafsirkan ayat ini : Artinya:” Apabila kamu melihat kebakhilan yang ditaati, dan hawa nafsu yang dituruti, dan setiap orang yang memiliki pendapat taajub dengan pendapatnya,maka uruslah (sibuklah) dengan kepentingan dirimu sendiri” (H.R. Tirmizi dari Abi salabah Al Khusyani, no 3058 ).
Hadits ini ditafsirkan oleh hadits Abi Said di kitab Muslim : Artinya: “Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran maka hendaklah dia merubah kemungkaran tersebut dengan tangannya, apabila tidak sanggup, (rubahlah) dengan lisannya, apabila tidak sanggup, (rubahlah) dengan hatinya, yang demikian adalah selemah-lemah keimanan “. (H.R. Muslim dan lainnya dari Abi Said Al Khudri.)
Dan apabila ahli fujur ( pelaku maksiat ) kuat, sehingga mereka tidak lagi mau mendengarkan kebaikan, bahkan mereka menyakiti orang yang melarang kemungkaran, karena mereka itu telah dikuasai oleh rasa kikir dan hawa nafsu serta rasa sombong, maka pada keadaan seperti ini, merubah dengan lisanpun gugur dan yang tinggal merubah dengan hati (assyuhhu) adalah rasa sangat ambisi yang mengakibatkan kepada kebakhilan dan kezoliman, yaitu menolak kebaikan dan membencinya. (alhawa al muttaba) hawa nafsu yang dituruti terwujud dalam keinginan terhadap keburukan dan mencintainya. (al ijab bir rayi) takjub (bangga) dengan pendapat sendiri yaitu (bangga) pada akal dan ilmu.
Maka (pada hadits di atas) Beliau saw telah menyebutkan rusak tiga kekuatan yaitu : ilmu, cinta dan benci. Sebagaimana dalam hadits lain : Artinya : ” Tiga hal yang mencelakakan; rasa kikir yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti dan rasa takjub seseorang dengan dirinya sendiri” dan di hadapan tiga hal yang mencelakakan ini, terdapat tiga hal yang menyelamatkan : Artinya: ” Rasa takut kepada Allah dalam keadaan sunyi dan keramaian, dan sikap sederhana di waktu miskin dan kaya dan berkata benar di waktu marah dan ridho ” (H.R. Tharoni di Mujam Ausath dari Anas dan dihasankan oleh Syeikh Al Albani di kitab Shohih Al-Jami, no : 3039, juz ; 1/ 583 )
Itulah yang selalu dimohon Rasulullah dalam doanya, seperti pada hadits lain : Artinya : ” Ya Allah, sesungguhnya saya memohon kepada-Mu rasa takutan akan diri-Mu di waktu sunyi dan keramaian, dan saya memohon kepada-Mu untuk (mampu) berkata benar di waktu marah dan ridho, dan saya memohon kepada-Mu untuk sikap sederhana di waktu miskin dan kaya” ( H.R. Nasai dari Amar bin Yasir, no: 1304 dan dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani di kitab Shohih Jami no : 1301, 1/279 ).
Maka rasa takut kapada Allah, lawan dari menuruti hawa nafsu, karena rasa takut mencegah perbuatan tersebut (menuruti hawa nafsu). Sebagaimana firman Allah : Artinya : “Dan adapun orang yang takut akan kedudukan Robnya, dan mencegah dirinya dari hawa nafsu“.( Q.S. 79 ;40 )
Sikap sederhana diwaktu miskin dan kaya, lawan dari rasa ambisi yang ditaati. Berkata benar diwaktu marah dan ridho, lawan dari rasa takjub (bangga) seseorang dengan dirinya. Apa yang dikatakan oleh As-Shiddiq sangat jelas, karena sesungguhnya Allah berfirman : (aaikum anfusakum) artinya: pegang teguhlah dan sibuklah dengan diri kalian. Dan termasuk dalam kemashlahatan diri, mengerjakan apa yang diperintahkan kepadamu, baik perintah (yang harus dikerjakan) atau larangan (yang harus ditinggalkan). Dan berfirman : Artinya : “Orang yang sesat tidak akan membahayakanmu apabila kamu mendapat petunjuk (hidayat) ” ( Q.S. 5;105 ).
Hidayah itu akan terwujud, bila Allah ditaati dan kewajiban ditunaikan, baik berupa perintah atau larangan dan yang lainnya. Di dalam ayat tersebut di atas, terdapat beberapa faidah yang agung:
Pertama : Hendaknya seorang mukmin tidak takut terhadap orang-orang kafir dan munafik, karena mereka itu tidak akan membahayakannya, selama dia telah mendapat petunjuk.
Kedua : Janganlah dia bersedih dan gelisah terhadap mereka, sebab kemaksiatan mereka tidak akan membahayakannya apabila dia telah mendapat petunjuk. Sebab bersedih terhadap apa yang tidak membahayakan merupakan hal yang sia-sia. Kedua makna ini disebutkan dalam firman Allah : Artinya : ” Dan bersabarlah dan tiada kesabaranmu kecuali dengan Allah, dan janganlah kamu bersedih terhadap mereka dan janganlah kamu merasa sempit terhadap tipu daya yang mereka ” ( Q.S. 16;127 ).
Ketiga : Hendaknya seorang mukmin tidak cenderung kepada mereka dan tidak menujukan pandangannya (tertarik) kepada apa yang mereka miliki dari kekuasaan, harta dan syahwat, seperti firman Allah : Artinya : ” Janganlah sekali-kali kamu menujukan pandanganmu kepada kenimatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu ) dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka “. (QS;15;88). Maka Allah melarang Nabi Muhammad saw untuk bersedih terhadap mereka dan mengharapkan apa yang mereka miliki disatu ayat, dan melarangnya untuk bersedih serta takut kepada mereka di ayat yang lain. Karena, kadang-kadang seseorang itu merasa sedih dan merasa takut kepada mereka, baik disebabkan karena rasa harap atau rasa cemas.
Keempat : Janganlah melampaui batas yang telah disyariatkan terhadap pelaku maksiat, dengan sikap berlebih-lebihan dalam membenci dan menghina, atau melarang dan menghajr ( mengisolir ) atau menghukumi mereka. Akan tetapi dikatakan kepada orang bersikap yang melampaui batas terhadap mereka itu, ” Uruslah dirimu sendiri, orang yang sesat tidak akan memudoratkanmu, selama kamu telah mendapat petunjuk”. Sebagaimana firman Allah : Artinya : ” Dan janganlah sekali kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu “(Q.S: 5;8 ). Dan firman Allah : Artinya : ” Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang yang melampaui batas” (QS:2;190) Dan firman Allah : Artinya: “Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu) maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim“. (QS:2;193).
Maka sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang melakukan amar maruf nahi mungkar, kadang-kadang melampaui batas ketentuan-ketentuan Allah, mungkin disebabkan kebodohan dan mungkin pula disebabkan kezoliman. Permasalahan ini seseorang wajib tatsabbut ( selektif / berhati-hati ) baik dalam mengingkari orang-orang kafir, munafik, fasiq atau maksiat.
Kelima : Hendaklah dia melaksanakan amar maruf nahi mungkar dalam batas yang disyariatkan yaitu berilmu, lemah-lembut, sabar, dan niat yang baik serta menempuh jalan tengah (meletakkan sesuatu pada tempatnya). Karena hal tersebut masuk di dalam firman Allah (alaikum anfusakum) uruslah diri kamu dan di firman Allah (idza ihtadaitum) jika kamu mendapatkan petunjuk.
Lima point ini disimpulkan dari ayat di atas, bagi siapa yang diperintahkan untuk amar maruf dan nahi mungkar. Di dalam ayat tersebut juga terdapat makna yang lain, yaitu; perhatian seseorang terhadap mashlahat dirinya sendiri, dalam segi ilmu dan amal serta memalingkan dirinya dari hal yang tidak bermanfaat, sebagaimana yang dikatakan oleh sohibus-syariah ( Rasulullah saw ): Artinya : ” Merupakan baiknya islam seseorang meninggalkan apa yang tidak ia butuhkan” (H.R. Ahmad di Musnadnya dari Hasan bin Ali , dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani di Shohih Al Jami no: 5911, juz : 2/1027).
Apa lagi banyaknya hal yang tidak penting, yang tidak dibutuhkan oleh seseorang dari urusan agama orang lain dan dunianya, terutama apabila pembicaraan tersebut karena hasad dan kedudukan (kepemimpinan). Begitu juga dalam beramal, mungkin orang yang melaksanakannya melampaui batas dan zolim, atau bodoh dan berbaut sia-sia. Alangkah banyaknya amalan yang digambarkan syeitan seakan-akan dia melakukan amar maruf dan nahi mungkar serta jihad di jalan Allah, padahal sebenarnya perbuatan tersebut merupakan kezoliman dan tindakkan yang berlebih-lebihan (melampaui batas).
Oleh karena itu, merenungkan ayat tersebut di dalam masalah ini, merupakan hal yang paling bermanfaat bagi seseorang. Apabila anda memperhatikan perselisihan yang terjadi di kalangan umat ini ; ulama, ahli ibadah, dan penguasa serta pemimpin mereka, anda akan menemukan, kebanyakan termasuk dalam jenis ini, yaitu: kezoliman yang disebabkan karena takwil atau bukan takwil. Seperti orang Jahmiyah, zolim terhadap ahli Sunnah dalam masalah sifat Allah dan Al quran ; seperti, bencana yang menimpa Imam Ahmad dan lainnya. Seperti Rafidhoh (syiah) selalu zolim terhadap ahli sunnah . Seperti Nashibah (orang membenci Ali) zolim terhadap Ali dan Ahli baitnya (keluarga dan keturunannya). Seperti Musyabbih (orang yang mengatakan sifat Allah seperti sifat makhluk) zolim terhadap munazzih (orang yang mensucikan Allah dari sifat yang serupa dengan sifat makhluk). Seperti sebagian Ahli sunnah kadang-kadang zolim, mungkin terhadap sebagian mereka, dan mungkin terhadap sejenis ahli bidah, dengan melebihi apa yang telah diperintah Allah, yaitu tindakan yang berlebih-lebihan, yang disebutkan dalam firman Allah : Artinya : ” Ya Robb kami ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami..” (Q.S. 3 : 147).
Di samping sikap melampaui batas (tindakan yang berlebih-lebihan) ini,terdapat kelalaian yang dilakukan oleh yang lain terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka, dari kebenaran atau amar maruf dan nahi mungkar dalam seluruh aspek. Alangkah baiknya apa yang dikatakan sebagian salaf: ” Tidaklah Allah memerintahkan suatu urusan, kecuali syeitan menghalanginya dengan dua perkara : -dia tidak menghiraukan apapun dari dua perkara itu yang akan dilakukannya- ghulu (berlebih-lebihan) dan takshir (kelalaian). Maka orang yang membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan sama dengan orang yang tidak membantu dalam perbuatan baik dan takwa. Orang yang melakukan yang diperintahkan dan melebihi (apa yang diperintahkan padahal itu) dilarang, sama dengan orang yang meninggalkan yang dilarang dan sebagian yang diperintahkan. Semoga Allah menunjuki kita kepada jalan yang lurus. Tiada punya dan kekuatan kecuali dengan Allah.
(Diambil dari majmu’ fatawa, jilid 14 hal : 479-483) Hail, Selasa, 4-4-2000 Islamic Dawa & Guidance Center P.o.Box. 2843 Hail K.S.A Imam Ahmad berkata, “Siapa yang tidak menomor-empatkan Ali bin Abi Thalib dalam khilafah, maka kalian jangan mengajak bicara dan menikahkannya.” (Thabaqatul hanabilah, Ibnu Abi Ya’la 1/45).